Makassar |Saberpungli.net- Seorang mahasiswi Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar , Sulawesi Selatan (Sulsel) diduga menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang dosen.
Kasus ini menambah daftar panjang dugaan kekerasan seksual di perguruan tinggi di Indonesia, yang terus meningkat setiap tahun.
Pihak Unhas telah memberikan sanksi awal berupa pencopotan jabatan dan skorsing selama tiga semester terhadap dosen tersebut.
Namun, langkah ini menuai kritik dari sejumlah mahasiswa dan pendamping korban yang menilai hukuman tersebut terlalu ringan.
Protes atas sanksi ini diwujudkan melalui serangkaian demonstrasi oleh mahasiswa Unhas.
Dalam perkembangan terbaru, Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) Unhas merekomendasikan agar rektorat memberikan sanksi tambahan berupa pemberhentian tetap kepada dosen yang bersangkutan.
“Kami merekomendasikan kepada rektor untuk mengusulkan pemberhentian tetap sebagai ASN dosen.
Namun, keputusan akhir ada di tangan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi,” ujar Ketua Satgas PPKS Unhas, Prof Farida Patittingi, baru ini.
Kasus ini bermula saat korban, seorang mahasiswi tingkat akhir, melaporkan kejadian pelecehan seksual yang dialaminya pada 25 September 2024, ketika melakukan konsultasi skripsi.
Menurut korban, pelecehan terjadi setelah dosen tidak mengizinkannya pulang usai sesi bimbingan.
Korban melaporkan kejadian ini ke Satgas PPKS Unhas, yang kemudian melakukan investigasi dan menyimpulkan bahwa terduga pelaku terbukti melakukan pelecehan seksual.
“Dosen tersebut langsung dinonaktifkan dari jabatan akademiknya dan dikenakan sanksi berat berupa skorsing selama tiga semester,” kata Guru Besar Hukum Unhas ini.
Namun, pendamping korban, Aflina Mustafainah, menilai hukuman ini tidak mencerminkan keseriusan dalam menangani kasus kekerasan seksual.
“Kalau hanya diskors tiga semester, apa jaminan dosen ini tidak mengulang perbuatannya?” ujar Aflina.
Ketidakpuasan terhadap sanksi ringan ini mendorong mahasiswa Unhas untuk menggelar aksi solidaritas.
Pada Kamis (28/11), insiden pembakaran terjadi di sekitar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unhas.
Sebanyak 32 mahasiswa diamankan polisi untuk dimintai keterangan, meski keterlibatan mereka dalam insiden tersebut belum terbukti.
Rektorat Unhas kemudian mengeluarkan kebijakan untuk menghentikan sementara seluruh kegiatan tatap muka mahasiswa hingga 1 Desember, menggantinya dengan pembelajaran daring.
Kasat Reskrim Polrestabes Makassar, Kompol Devi Sujana, menyatakan bahwa pihaknya masih mendalami motif penyerangan dan pembakaran ini.
Kritik Terhadap Penanganan Kasus Kekerasan Seksual
Kasus ini juga memunculkan kritik terhadap penanganan kekerasan seksual di kampus, termasuk perilaku anggota Satgas PPKS yang dianggap kurang sensitif terhadap korban. Dalam sebuah percakapan yang viral di media sosial, seorang anggota Satgas diduga menyampaikan komentar yang meremehkan trauma korban.
“Kami meminta maaf atas tindakan anggota kami yang tidak sejalan dengan prinsip melindungi korban,” ujar Prof Farida menanggapi insiden tersebut.
Komnas Perempuan mencatat peningkatan laporan kekerasan seksual di perguruan tinggi seiring dengan bertambahnya jumlah korban yang berani melapor. Kebijakan seperti Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 dan pembentukan Satgas PPKS dinilai mendorong kepercayaan korban terhadap sistem pelaporan.
“Dulu, 80 persen korban memilih diam. Sekarang, banyak yang berani melapor karena percaya kasus mereka akan ditangani,” ujar Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah.
Kondisi Korban Saat Ini
Pendamping korban menyatakan bahwa meskipun korban telah melanjutkan aktivitas akademiknya, trauma masih membayangi kehidupannya.
“Korban berharap tidak ada lagi mahasiswi yang mengalami hal serupa. Dia ingin keadilan bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk mencegah adanya korban lain,” kata Aflina.
Kasus ini akan dilanjutkan ke jalur hukum dengan bantuan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar. Keputusan akhir terkait sanksi pemberhentian dosen kini menunggu persetujuan dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
( * )