Semarang [SaberPungli.net] Upaya menghidupkan kembali Terminal Tipe A Mangkang kembali tersendat karena persoalan klasik: terminal bayangan yang tak kunjung bisa dibereskan. Meski pemerintah pusat sudah melakukan revitalisasi dan berganti walikota, kenyataannya tiga titik terminal bayangan di Semarang tetap beroperasi seolah-olah kebal dari penertiban.
Kepala Terminal Mangkang, Reno Adi Pribadi, mengakui bahwa pemerintah pusat telah berupaya menggenjot pemanfaatan terminal. Namun di lapangan, para agen dan bus masih memilih singgah di lokasi-lokasi nonresmi seperti Pasar Sukun, kawasan Terboyo, dan Jalan Siliwangi. “Penertiban sudah dilakukan bersama Dishub Pemkot, tetapi di lapangan tetap saja berjalan,” kata Reno, Minggu (16/11/2025).
Ia menegaskan bahwa sesuai aturan, seluruh bus dari arah Barat, Timur, dan Selatan wajib masuk terminal resmi. Namun aturan tersebut hanya hidup di atas kertas. “Terminal itu tempat naik-turun penumpang. Melakukannya di pinggir jalan berbahaya bagi penumpang dan pengguna jalan lainnya,” jelasnya. Sejak ditugaskan menangani terminal Mangkang dua tahun lalu, upaya menghidupkan terminal Mangkang menjadi ramai sesuai fungsi, belum sepenuhnya berhasil.
Ironisnya, Reno mengungkapkan bahwa data titik terminal bayangan pun tidak pernah berubah sejak tahun lalu—tetap tiga titik yang sama, beroperasi tanpa hambatan berarti. “Belum ada pembaruan data. Titiknya ya tetap itu-itu saja,” ujarnya.

Sementara itu, untuk menyiasati sepinya aktivitas, pihak terminal berusaha menggandeng UMKM, menyewakan ruangan kepada pemerintahan kota Semarang untuk kantor pelayanan,
Namun langkah-langkah kecil seperti ini tidak cukup menutupi fakta besar: terminal bayangan masih memonopoli pergerakan penumpang di luar terminal resmi.
Masalah Baru? Tidak. Masalah Lama yang Dibiarkan
Terminal bayangan bukan sekadar hambatan teknis—ia sudah berubah menjadi penyakit kronis yang dibiarkan tumbuh. Dua tahun terakhir, persoalan ini selalu muncul dalam laporan, tetapi tidak pernah ada langkah penuntasan. Walikota sudah berganti, kebijakan sudah diperbarui, sosialisasi dilakukan, bahkan penertiban diumumkan berulang kali. Namun hasilnya nihil.
Terminal bayangan tetap hidup, terminal resmi tetap kesepian.
Jika titik terminal bayangan tidak berkurang meski sudah dua tahun berulang disebut sebagai masalah, maka pertanyaannya bukan lagi “apa hambatannya?” melainkan:
Siapa yang sebenarnya diuntungkan dengan dibiarkannya terminal bayangan itu tetap berjalan?
Selama pertanyaan ini tidak dijawab, Terminal Mangkang akan terus terjebak dalam status “proyek hidup enggan, mati tak mau”. Kata beberapa masyarakat baik penumpang, maupun pedagang UMKM yang ada disana.
( Albert )












