Prosesi tersebut diklaim sebagai bentuk pembersihan diri, penolak bala, dan pertobatan bersama untuk menghindari bencana dan malapetaka. Namun, acara ini menjadi sorotan karena ritual ruwatan dalam bentuk terbuka semacam ini belum pernah dilakukan sebelumnya oleh Pemerintah Kota Semarang. Lebih dari itu, kegiatan tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar tentang batas antara pelestarian budaya dan pelanggaran nilai-nilai ketauhidan, terutama bagi umat Islam yang menjadi mayoritas di kota ini.
Dalam ajaran Islam, konsep pembersihan diri dan penghapusan dosa hanya dapat ditempuh melalui taubat yang tulus, memperbanyak istighfar, serta menaati perintah Allah SWT. Tidak ada ajaran dalam Islam yang membenarkan penghapusan dosa melalui ritual sesaji, persembahan simbolik, atau prosesi spiritual di luar tuntunan syariat.
Karena itu, ruwatan terlebih jika mengandung unsur sesaji atau permohonan kepada selain Allah, berpotensi menjerumuskan kepada kemusyrikan, yaitu mencampuradukkan nilai ketauhidan dengan praktik spiritual non-Islam. Rasulullah SAW telah menegaskan dalam hadis sahih bahwa dosa syirik adalah dosa besar yang tidak akan diampuni apabila pelakunya tidak bertaubat.
Oleh: Dr. H. AM Juma’i, SE., MM.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Semarang
Jika Pemerintah Kota Semarang ingin menolak bala, mencegah bencana, dan mengharap keberkahan, maka jalan terbaik adalah kembali kepada nilai-nilai agama. Umat Islam telah memiliki tradisi luhur seperti doa bersama, shalat taubat, istighosah, dan shalat hajat semuanya berlandaskan tauhid murni. Menggantinya dengan ritual ruwatan di depan Masjid Agung Kauman Semarang, ikon religius umat Islam, justru menjadi simbol kontradiktif yang berpotensi melukai kesucian akidah.
Apalagi jika kegiatan tersebut diselenggarakan atas nama pemerintah, efek simboliknya besar: seolah-olah negara membenarkan praktik yang berpotensi bertentangan dengan prinsip tauhid. Ini bisa menjadi cedera agama sekaligus cedera moral publik.
Kita memahami bahwa niat untuk membersihkan kota dari bencana dan dosa adalah baik. Namun, niat baik harus ditempuh dengan cara yang benar. Saat bencana sosial, politik, dan moral melanda Kota Semarang dari korupsi, penyalahgunaan wewenang, hingga krisis kepercayaan publik jawaban yang dibutuhkan bukanlah ruwatan, melainkan taubat sosial dan reformasi etika publik.
Pemerintah seharusnya mengajak masyarakat untuk memperbanyak doa, menegakkan keadilan, dan membangun integritas. Sebab bencana terbesar bukan datang dari alam, melainkan dari rusaknya moral pemimpin dan rakyatnya.
Ruwatan yang dilakukan secara seremonial tidak akan mampu menghapus dosa struktural dan sosial. Yang diperlukan adalah ruwatan hati, akhlak, dan kebijakan publik, bukan ritual simbolik yang berpotensi menodai kemurnian akidah.
Semoga momentum ini menjadi bahan introspeksi bersama agar Pemerintah Kota Semarang lebih berhati-hati dalam mengemas kegiatan budaya yang bersinggungan dengan nilai-nilai keagamaan. Pelestarian budaya boleh saja dilakukan, tetapi jangan sampai mengorbankan nilai tauhid dan mengundang murka Allah SWT.
Wallahu a’lam bish-shawab.
#B13deks412._M. Usup
