InternasionalKebudayaanNasionalTNI POLRI

Pavingisasi Depan Masjid dibatasi menggunakan police line milik aparat kepolisian.

35
×

Pavingisasi Depan Masjid dibatasi menggunakan police line milik aparat kepolisian.

Sebarkan artikel ini

Pavingisasi Depan Masjid dibatasi menggunakan police line milik aparat kepolisian.

DEMAK [SaberPungli.net] 23 November 2025 – Sebuah rekaman warga memperlihatkan dengan jelas garis kuning bertuliskan “POLICE LINE – DO NOT CROSS” melingkari sebagian area pekerjaan.

Temuan itu memicu pertanyaan mendasar, apa kepentingan police line dalam proyek sipil yang tidak berkaitan dengan penanganan perkara?
“Ini Jelas Penyalahgunaan Atribut Kepolisian”
Menurut seorang tokoh masyarakat yang enggan disebut namanya, penggunaan police line di proyek sipil merupakan tindakan yang memanipulasi persepsi publik.

“Yang namanya police line itu tanda lokasi perkara. Ini proyek, bukan TKP. Jadi kalau dipakai di sini, kesannya seperti ada backing aparat.

Itu tidak dibenarkan.”
Hal serupa disampaikan seorang praktisi hukum Demak:
“Police line hanya boleh dipasang oleh polisi dalam rangka penyelidikan.

Kalau dipakai oleh kontraktor, itu masuk kategori penyalahgunaan atribut APH. Ada konsekuensi pidana.”

Dasar Hukum yang Dilanggar
1. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Polisi berwenang memasang garis polisi secara eksklusif.

2. PP 58/2010 tentang Penanganan TKP
Police line hanya untuk:
TKP tindak pidana
Barang bukti
Lokasi operasi aparat

3. Pasal 216 KUHP Orang yang menyalahgunakan atau memakai identitas/atribut pejabat tanpa hak dapat diproses secara pidana.

4. UU 31/1999 (Tipikor)
Jika terbukti dipakai untuk menimbulkan “kewibawaan semu” guna menghindari kontrol publik, bisa masuk dugaan penyalahgunaan kewenangan.

Motif: Menghalangi Pengawasan atau Menciptakan “Kesan Dilindungi”?
Sejumlah warga di lokasi menilai penggunaan police line bisa menjadi strategi untuk:

1. Menghalangi warga mendekat dan memotret pekerjaan proyek.

“Kalau lihat police line, orang takut dekati,” ujar salah satu pedagang sekitar.

2. Menciptakan kesan proyek ‘dikawal’ atau ‘didukung’ aparat.

Ini dapat meredam kritik, sehingga pekerjaan yang tidak sesuai spesifikasi bisa lolos.

3. Menutupi masalah material.

Termasuk dugaan penggunaan paving lama yang diambil dari bongkaran, tetapi dipasang kembali seperti baru.

Jika benar ada motif tersebut, maka pelanggaran ini tidak bisa dianggap ringan.

Polres Harus Turun Tangan
Pakar kebijakan publik menyebut bahwa pihak kepolisian justru berkewajiban memeriksa:

Siapa yang memasang police line?
Apakah ada oknum APH yang memberikan atau meminjamkan garis polisi?
Atau kontraktor mengambil sendiri tanpa izin?
Semua skenario tersebut menyalahi aturan dan merusak citra aparat.

Kontraktor Wajib Gunakan Rambu Proyek Standar
Dalam proyek sipil, pembatas resmi yang benar adalah:

Rubber cone / safety cone
Barrier plastik merah
Pembatas proyek standar K3
Kawat pengaman
Papan informasi proyek (wajib dipasang)
Bukan police line.

Penggunaan atribut kepolisian pada proyek merupakan bentuk kelalaian serius atau tindakan sengaja yang bernuansa intimidasi publik.

Warga Mendesak Evaluasi Total
Masyarakat yang ditemui di sekitar masjid menyuarakan hal yang sama:

“Kalau proyek benar, kenapa sampai pakai police line? Ini harus diperiksa. Masjid itu area publik.”

“Kami ingin pekerjaan yang benar, bukan pekerjaan yang disembunyikan.”

Warga berharap Pemkab Demak, Dinas PUPR, Kemenag, dan Polres Demak segera turun ke lapangan untuk:

Mencabut police line dari proyek
Memeriksa kontraktor dan pengawas lapangan
Mengevaluasi kualitas pengerjaan paving
Mengungkap sumber anggaran dan nilai proyek
Catatan Penutup:

Transparansi adalah Harga Mati
Pembangunan di kompleks Masjid Agung Demak bukan sekadar proyek fisik. Kawasan ini adalah simbol religius dan sejarah Jawa yang harus dikelola dengan penuh integritas.

Kasus penggunaan police line di proyek publik bukan hanya persoalan teknis, tetapi indikasi lemahnya pengawasan dan potensi manipulasi persepsi publik.

Warga berhak tahu apa yang terjadi, siapa yang mengerjakan, dan kenapa atribut aparat negara digunakan untuk menutup pekerjaan yang seharusnya transparan.

(M. Usup)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *