Salatiga,SaberPungli.net: Pembentukan Tim Koordinasi Pembangunan Daerah Kota Salatiga oleh Wali Kota Salatiga Robby Hernawan berdasarkan Keputusan Wali Kota Salatiga Nomor 072/75/2025 dapat dilihat sebagai langkah strategis dalam konteks penguatan tata kelola pemerintahan daerah. Keberadaan tim ini mencerminkan upaya Wali Kota dan Wakil Wali Kota untuk memiliki wadah konsultatif yang mampu menjembatani antara visi kepala daerah dengan pelaksanaan program di tingkat birokrasi. Dalam sistem politik pemerintahan lokal, pembentukan tim semacam ini bukan hal baru, namun tetap menimbulkan dinamika yang menarik ketika dilihat dari sudut hukum dan politik administrasi.

Tranparansi pekerjaan infrastruktur penunjukan langsung sesuai bidang masing masing penyedia jasa ,tidak ada proyek titipan atau penunjukan langsung yang saat ini banyak dibicarakan oleh masyarakat kota salatiga,semua akan kita kaji,ujar robby.
Komisaris dan Pimpinan Umum media Saber Pungli [ Edwin DEi] angkat bicara, ,sebagai putra daerah kota salatiga,saya berpendapat positif tentang program inftastruktur oleh walikota salatiga,semua transparansi,dengan pembentukan tim ahli untuk kajian pembangunan proyek pemerintah salatiga sendiri.
Tim ini dipimpin oleh Krisna Satrio, CPCM, dengan Zulkifly, S.Pt, MM, CGAA sebagai penasihat, serta anggota terdiri dari Hutomo Hendri Ariwibowo, Apriliya Wahyuningsih, dan M. Danu Abdhillah Ramadhan. Nama-nama tersebut tentu membawa latar belakang, jaringan, dan keahlian yang diharapkan dapat memperkuat kapasitas pemerintah kota dalam mengambil kebijakan strategis. Tugas-tugas yang diemban tim ini cukup luas, mulai dari analisis program strategis Wali Kota dan Wakil Wali Kota, memberikan saran kebijakan, menggali aspirasi masyarakat, hingga melakukan konsolidasi lintas lembaga pemerintahan. Mereka juga diberi kewenangan untuk melaksanakan penugasan khusus dan menyampaikan laporan secara berkala kepada Wali Kota.
Secara normatif, keberadaan tim ini memiliki landasan administratif yang sah dan dapat menjadi pelengkap kerja birokrasi formal yang kadang terlalu kaku dalam merespons dinamika lapangan. Tim ini berpotensi menjadi semacam “jembatan kebijakan” yang fleksibel dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat serta perkembangan isu-isu strategis. Kehadiran mereka juga bisa membuka kanal partisipatif yang lebih luas, sebab tugas mereka mencakup komunikasi dua arah antara pemerintah dan masyarakat.
Namun demikian, dari sisi praktik pemerintahan, pembentukan tim ini tidak lepas dari sejumlah catatan kritis. Pertama, adanya irisan tugas dengan lembaga resmi seperti Bappeda, Inspektorat, atau perangkat daerah lainnya menimbulkan risiko tumpang tindih kewenangan. Bila tidak disinergikan dengan baik, tim ini justru dapat mengganggu alur koordinasi antar instansi. Kedua, dalam konteks politik lokal, penunjukan individu-individu tertentu ke dalam tim ini bisa memunculkan persepsi politisasi, apalagi jika nama-nama tersebut diasosiasikan dengan kekuatan politik atau kepentingan tertentu. Hal ini dapat menimbulkan pertanyaan publik terkait motif dan urgensi pembentukan tim di luar struktur birokrasi yang sudah ada.
Selain itu, belum adanya kejelasan mengenai parameter kinerja, bentuk pertanggungjawaban, serta transparansi anggaran yang digunakan menjadi celah kelemahan yang perlu segera diantisipasi. Dalam konteks good governance, kehadiran tim semacam ini hanya akan efektif bila disertai mekanisme pengawasan yang ketat serta laporan kinerja yang terbuka. Tanpa itu, publik akan sulit menilai kontribusi riil tim terhadap pembangunan daerah.
Oleh karena itu, meskipun secara konsep pembentukan Tim Koordinasi ini merupakan bentuk inovasi dalam tata kelola pemerintahan daerah, efektivitasnya sangat ditentukan oleh pelaksanaan teknis di lapangan dan sejauh mana tim ini bekerja secara kolaboratif, transparan, dan akuntabel. Jika tidak, ia justru berpotensi menjadi beban baru dalam struktur pemerintahan yang sudah kompleks, alih-alih menjadi solusi bagi percepatan pembangunan Kota Salatiga.
LitbangHum