Demak [SaberPungli.net] 7 November 2025 Kasus yang menimpa Kepala Desa Rejosari, Kabupaten Demak, kembali memicu sorotan publik.
Kepala desa yang diduga menjadi korban pengeroyokan preman, justru ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak penyidik.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai penerapan konsep pembelaan terpaksa (noodweer) dalam proses hukum pidana.
Pembelaan Terpaksa: Hak Korban Untuk Melawan
Pasal 49 ayat (1) KUHP secara tegas menyatakan bahwa siapa pun yang melakukan tindakan karena membela diri dari serangan atau ancaman nyata, tidak dapat dipidana.
Jika benar kepala desa dikeroyok terlebih dahulu, maka tindakan perlawanan seharusnya masuk kategori alasan pembenaran, bukan tindak pidana.
PH Choirun Nidzar Alqodari: “Klien Kami Korban, Bukan Pelaku”
Penasihat Hukum Choirun Nidzar Alqodari menegaskan bahwa penetapan tersangka terhadap kliennya tidak mencerminkan rasa keadilan.
Menurutnya, kepala desa jelas-jelas mengalami serangan fisik terlebih dahulu dan terpaksa melawan untuk menyelamatkan diri.
“Klien kami adalah korban pengeroyokan.
Secara hukum, ia memiliki hak penuh untuk membela diri.
Kami meminta penyidik melihat kasus ini secara objektif dan tidak mengabaikan prinsip pembelaan terpaksa sebagaimana diatur dalam KUHP,” jelas Nidzar.
PH juga menyebut bahwa sejumlah saksi dan bukti telah diserahkan untuk memperkuat bahwa kliennya berada dalam posisi bertahan, bukan menyerang.
Kegelisahan Masyarakat Rejosari
Warga mulai mempertanyakan keadilan dan profesionalitas aparat penegak hukum.
Mereka menilai bahwa kriminalisasi terhadap seseorang yang membela diri dapat menjadi preseden buruk dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum.
Penegak Hukum Diminta Kembali ke Rel Keadilan
Dalam kasus yang melibatkan pembelaan terpaksa, penegak hukum wajib menilai niat, konteks, dan situasi secara menyeluruh.
Hukum tidak boleh hanya bergerak secara tekstual, tetapi juga menangkap keadilan substantif yang menjadi tujuan penegakan hukum itu sendiri.
(M. Usup)
