Catatan Peringatan Dua Dekade Komisi Yudisial

oleh -7 Dilihat
oleh

SaberPungli.net: Jawa Tengah – Dua dekade Komisi Yudisial (KY) membawa beberapa hikmah penting dalam menjaga integritas hakim dan peradilan di Indonesia.

Peran KY diantaranya memperkuat pengawasan eksternal terhadap hakim, mengawasi perilaku hakim dalam mematuhi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).

Melalui edukasi publik dan penanganan laporan pelanggaran, KY berupaya menjaga martabat dan kehormatan profesi hakim, mendorong kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga integritas peradilan serta menjalin sinergi dengan berbagai pihak,termasuk institusi perguruan tinggi,untuk membentuk generasi muda yang sadar hukum dan berintegritas.

Sinergi ini diharapkan dapat menciptakan ekosistem peradilan yang lebih baik.

Selama dua dekade terakhir, Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA) telah menyidangkan berbagai kasus pelanggaran etik hakim melalui Majelis Kehormatan Hakim (MKH).

Kasus-kasus ini menyoroti berbagai pelanggaran, mulai dari suap, perselingkuhan, hingga penyalahgunaan wewenang.

Beberapa kasus paling menonjol di mana hakim dijatuhi sanksi oleh MKH atas rekomendasi KY: Kasus Hakim Ad Hoc PHI Medan (2025): Seorang Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Medan berinisial MS diberhentikan tidak dengan hormat karena terbukti menerima uang dari pihak berperkara. Kasus ini menunjukkan komitmen KY dan MA dalam menindak tegas hakim yang menyalahgunakan jabatannya untuk keuntungan pribadi.

Kasus Hakim PN Surabaya (2024): Tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, yaitu ED,M,dan HH, direkomendasikan untuk dipecat oleh KY.

Rekomendasi ini diberikan karena ketiganya dinilai melanggar etik berat setelah memvonis bebas Gregorius Ronald Tannur dalam kasus penganiayaan hingga menewaskan Dini Sera Afrianti.

Kasus ini memicu perhatian publik yang luas dan menunjukkan pentingnya integritas hakim dalam membuat keputusan yang adil.

Kasus Hakim PN Jakbar DS (2023): dipecat oleh MKH karena terbukti menerima suap untuk meringankan vonis dalam perkara korupsi. Kasus ini menjadi contoh nyata dari praktik “mafia peradilan” yang merusak sistem peradilan dari dalam.

Kasus Hakim MY (2023): MY Seorang hakim Pengadilan Agama (PA) Tulungagung diberhentikan tidak dengan hormat.

Ia terbukti melanggar etik dengan mengatur agar dirinya menjadi anggota majelis dalam perkara perceraian,lalu menikahi pihak yang berperkara secara siri dan memiliki seorang anak.

Kasus ini menyoroti pelanggaran serius terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang tidak hanya terkait dengan putusan hukum, tetapi juga perilaku personal.

Kasus Hakim MYS (2019): Hakim MYS di Pengadilan Tinggi Tanjung Karang diberhentikan tidak dengan hormat.

Ia terbukti membawa perempuan yang bukan istrinya ke rumah dinas dan positif menggunakan narkoba jenis metamphetamine. Kasus ini menunjukkan bahwa MKH juga menindak tegas pelanggaran etik yang terkait dengan moral dan penyalahgunaan jabatan.

Kasus-kasus tersebut hanyalah contoh dari banyaknya laporan yang diterima KY setiap tahunnya,sebagian besar laporan berakhir dengan sanksi ringan atau sedang,tetapi kasus-kasus yang paling menonjol dan mendapat perhatian publik biasanya berujung pada sanksi berat,seperti pemberhentian dengan hormat,pemberhentian tetap dengan hak pensiun,atau bahkan pemberhentian tidak dengan hormat.

Namun selama kurun waktu ini,KY juga menghadapi tantangan dalam menjaga independensi dan perluasan kewenangan. Meskipun telah mencapai banyak hal, KY masih menghadapi tantangan dalam menjaga independensinya dan memperluas kewenangannya.

Tentunya belum hilang dalam ingatan kita kejadian yang menghebohkan ketika tak hanya seorang Komisioner KY yaitu Taufiqurrohman, bahkan Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI juga menetapkan Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki sebagai tersangka kasus pencemaran nama baik atas pengaduan Hakim Sarpin Rizaldi.

Taufiqurrohman dan Suparman dalam kapasitas sebagai KY menilai Sarpin sebagai hakim yang merusak tatanan hukum karena mengabulkan putusan Pra Peradilan Budi Gunawan dianggap melenceng dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,di mana pada saat itu penetapan tersangka tidak masuk dalam obyek praperadilan.

Beberapa pihak mengusulkan agar KY memiliki kewenangan yang lebih luas dalam proses rekrutmen dan pemberhentian hakim. Beberapa usulan mencakup perluasan wewenang KY dan peningkatan status kepegawaian dan penguatan Penghubung KY di daerah.

Selaras dengan peran tambahan KY yaitu pemberian advokasi kepada Hakim yang ketika dalam pelaksanaan tugasnya mendapat ancaman, tekanan,intimidasi sehingga kehadiran KY semestinya tidak hanya dipandang sebagai sebuah lembaga yang seolah – olah hanya mencari kesalahan hakim dan semangat menghukum saja.

Dalam dua dekade (dua puluh tahun) sejak berdiri,Komisi Yudisial (KY) menghadapi sejumlah hambatan berat dalam melaksanakan fungsinya.

Hambatan-hambatan ini dapat dikelompokkan ke dalam beberapa isu utama, yang saling terkait dan memengaruhi efektivitas KY.

1. Keterbatasan Kewenangan dan Kelembagaan.

Kewenangan KY yang terbatas sering kali menjadi sumber perbedaan pandangan dengan Mahkamah Agung (MA) dan menjadi hambatan utama dalam penegakan kode etik hakim.

Batasan antara Teknis Yudisial dan Perilaku Hakim: Sering terjadi tumpang tindih antara wilayah pengawasan KY (perilaku hakim) dan domain teknis yudisial yang menjadi kewenangan MA yaitu kewenangan Badan Pengawas MA (Bawas). Ketika MA berpendapat bahwa laporan yang diajukan KY menyentuh wilayah independensi hakim dalam memutus perkara,akan sulit untuk ditindaklanjuti.

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK): Pada tahun 2006,Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006 mencabut beberapa kewenangan KY, termasuk wewenang mengawasi hakim secara keseluruhan, kecuali hakim agung.

Hal ini secara signifikan melemahkan peran KY dan menimbulkan “problem eksistensial “di awal-awal berdirinya lembaga ini.

Kurangnya Regulasi yang Jelas:

Meskipun telah ada Peraturan Bersama antara MA dan KY, masih ada “kekosongan hukum” terkait batasan-batasan kewenangan yang jelas, yang sering kali menjadi “episenter” bagi tidak terselesaikannya perkara.

2. Hubungan yang Kurang Harmonis dengan Mahkamah Agung (MA)

Hubungan antara KY dan MA sering kali diwarnai ketegangan, yang berdampak langsung pada kinerja KY.

Perbedaan Pandangan: Perbedaan pandangan terkait ruang lingkup pengawasan,terutama saat menangani laporan masyarakat,seringkali menjadi sumber konflik.

Hal ini menghambat proses penegakan etik dan sanksi terhadap hakim yang terbukti melanggar.

Mekanisme Sanksi yang Tidak Efektif: KY tidak memiliki wewenang untuk memberikan sanksi langsung kepada hakim. KY hanya bisa mengusulkan penjatuhan sanksi kepada MA,dan seringkali usulan ini tidak sepenuhnya ditindaklanjuti atau sanksi yang diberikan tidak sesuai dengan rekomendasi.

3. Tantangan Internal dan Sumber Daya

KY juga menghadapi hambatan dari sisi internal kelembagaannya.

Keterbatasan Sumber Daya Manusia: Jumlah pengawas KY tidak sebanding dengan jumlah hakim yang harus diawasi di seluruh Indonesia.

Hal ini membuat penanganan laporan masyarakat menjadi pelik dan memakan waktu lama. Apalagi adanya beban peran tambahan KY dalam hal advokasi kepada Hakim.

Anggaran dan Sarana Prasarana:

Anggaran yang terbatas dan sarana prasarana yang belum memadai juga menjadi kendala dalam menunjang kinerja, terutama dalam investigasi dan penanganan laporan.

4. Tantangan Moralitas, Etika dan Perilaku Hakim KY didirikan untuk menjaga integritas hakim.

Namun, tantangan moralitas di kalangan hakim semakin kompleks.

KY menghadapi realitas sosial hukum yang kompleks,di mana hakim tak jarang terjebak dalam kepentingan ekonomi dan kekuasaan. Praktik peradilan yang dinilai jauh dari nilai keadilan substantif menjadi sorotan tajam publik.

Secara keseluruhan, hambatan terberat KY dalam dua dekade ini adalah keterbatasan kewenangan yang diamanatkan undang-undang dan putusan MK,serta relasi yang tidak selalu harmonis dengan Mahkamah Agung.

Kedua hal ini saling memperkuat dan menjadi sumber utama dari berbagai tantangan lainnya,baik dari sisi kelembagaan maupun dalam penegakan etik terhadap hakim.

Hal ini pada akhirnya menciptakan ekspektasi publik yang besar terhadap KY,tetapi dengan wewenang yang terbatas.

Selain persoalan kewenangan,tidak kalah penting perlunya pemahaman dan kesepakatan bersama antara KY dengan MA dalam persamaan persepsi mengenai batasan antara persoalan Teknis Yudisial dan Etik / Perilaku Hakim untuk mengeliminir disharmonisasi dan benturan antara KY dan MA yang sejatinya mempunyai tujuan yang sama yaitu menjaga marwah hakim dan terwujudnya peradilan yang bersih,adil dan berwibawa.

Perjalanan KY masih panjang dan memerlukan dukungan dari seluruh elemen masyarakat untuk meningkatkan peran dan mencapai tujuan dibentuknya lembaga ini,termasuk pentingnya penguatan kerjasama dan sinergitas antara KY dengan lembaga Mahkamah Agung sebagai rumah besar seluruh Hakim di Indonesia dan pengelola peradilan di seluruh indonesia sebagai sasaran tujuan utama peran KY itu sendiri. ( Adhi S )

Nara Sumber : Timbul Priyadi, SH., MH.

Founder and Managing Partners

Law Office Legal Justitia & Co’

Hakim Ad Hoc Tipikor Tingkat Banding Periode 2014-2024.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.