Akses Jalan Ditutup, Bocah SD di Semarang Terpaksa Lewati Sungai Demi Sekolah: Pemerintah Jangan Tutup Mata

oleh -10 Dilihat
oleh

Semarang, SaberPungli.net: Nasib malang menimpa JES (8), seorang siswa sekolah dasar di Kelurahan Bendan Ngisor, Kota Semarang. Bocah ini viral setelah terekam video menyusuri aliran sungai bersama ibunya hanya untuk bisa sampai ke sekolah. Akses jalan utama ke rumah mereka telah ditutup secara sepihak oleh pemilik lahan yang mengklaim hak kepemilikan atas tanah tersebut.

Penutupan akses ini terjadi usai sengketa lahan antara Sri Rejeki dan ayah JES, Juladi Boga Siagian (54), memuncak. Sengketa ini berujung pada keputusan pengadilan yang menyatakan Siagian bersalah menggunakan lahan tanpa hak, meski hukuman penjara tiga bulan yang dijatuhkan disertai masa percobaan enam bulan. Sejak putusan itu pada 17 Juli 2025, pagar seng langsung dipasang sepihak, menutup satu-satunya akses keluar masuk keluarga Siagian. Padahal Siagian masih mengajukan banding untuk perkaranya.

Akses Jalan Ditutup, Bocah SD di Semarang Terpaksa Lewati Sungai Demi Sekolah: Pemerintah Jangan Tutup Mata

Ironisnya, sejak penutupan dilakukan pada 24 Juli, JES tetap harus bersekolah. Tanpa pilihan lain, anak ini berjalan kaki melalui jalan sempit di bantaran Kali Tuk, melewati bebatuan dan bau limbah rumah tangga. Potret perjuangan ini memantik simpati publik, namun belum cukup menggugah kebijakan. Setelah viral, Senin 4 Agustus, menurut Siagian ada kunjungan pejabat dan anggota dewan.

Akses Jalan Ditutup, Bocah SD di Semarang Terpaksa Lewati Sungai Demi Sekolah: Pemerintah Jangan Tutup Mata

 

Pemerintah Kota Semarang melalui Dinas Pendidikan telah memediasi pihak-pihak terkait. Dua opsi sempat ditawarkan: akses dibuka kembali dengan syarat tertentu, atau keluarga JES harus pindah sementara waktu. Namun, pemilik lahan memilih opsi kedua. Akibatnya, bocah itu masih harus berjibaku melawan arus dan aroma tak sedap sungai demi pendidikan.

Situasi ini makin rumit setelah warga sekitar memasang spanduk penolakan terhadap keberadaan Siagian dan keluarganya. Mereka menuduh Siagian menimbulkan ketidaknyamanan, mulai dari memelihara anjing yang dilepas liar hingga tidak bersosialisasi.

Siagian membantah sebagian tuduhan. Ia mengaku tidak punya cukup waktu bersosialisasi karena harus bekerja dari pagi hingga malam sebagai pemulung. Soal anjing, menurutnya, hewan peliharaannya hanya dilepas sesekali dan selalu diawasi. Ia juga membantah membakar sampah, menyebut yang dia bakar hanyalah rongsokan yang dijemur.

Dalam kondisi penuh tekanan, Siagian menyatakan tidak menolak untuk pindah, namun meminta keadilan dan solusi yang manusiawi. “Kalau harus pindah, tolong carikan tempat. Jangan cuma usir. Kami juga manusia,” ucapnya. Sang istri bahkan mengaku mengalami tekanan psikologis akibat situasi yang kian tidak menentu.

Kasus ini bukan hanya tentang sengketa lahan, tetapi tentang hak dasar seorang anak untuk bersekolah dengan aman. Ketika persoalan hukum dan konflik sosial menyeret anak kecil dalam dampaknya, negara ditantang untuk hadir, bukan hanya sebagai penonton, tapi sebagai pelindung hak-hak warganya—terutama anak-anak.

Sayang, walaupun pejabat sudah berkunjung dan melihat kenyataan bahwa akses masih tertutup, nasib keluarga Siagian masih seperti tak ada jalan keluar. Sampai kapan?

(AM)